![]() |
| Sebuah alat berat Backhoe terlihat sedang melakukan pekerjaan penimbunan hutan lindung mangrove di Kecamatan Sagulung, Kota Batam. |
BATAM, SOROTTUNTAS.COM - Perusakan dengan cara melakukan penimbunan terhadap hutan lindung manggrove di Kecamatan Sagulung, Kota Batam, diduga kuat belum mengantongi perizinan alih fungsi hutan lindung menjadi lahan industri.
Dugaan tersebut muncul bukan tanpa alasan, mengingat alih fungsi hutan lindung menjadi lahan industri memiliki proses yang sangat kompleks, dan diatur ketat oleh hukum dan perundang-undangan.
Diketahui, untuk mendapatkan perizinan alih fungsi hutan lindung menjadi lahan industri, membutuhkan persetujuan dari berbagai tingkat pemerintahan, termasuk pemerintahan pusat.
Secara umum proses ini merupakan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK), bahkan setelah mendapat persetujuan DPR-RI untuk kasus yang berdampak penting dan luas.
Berikut adalah gambaran umum prosedurnya berdasarkan regulasi yang ada:
Prosedur Umum Pengubahan Status Kawasan Hutan
1. Pengajuan Permohonan: Pihak yang berkepentingan (pemerintah daerah, atau investor) harus mengajukan permohonan resmi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan kepada Menteri LHK.
2. Penelitian Terpadu: Permohonan tersebut akan ditindaklanjuti dengan penelitian terpadu oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan otoritas ilmiah terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan dan dampak perubahan fungsi lahan.
3. Kajian Dampak Lingkungan (AMDAL): Proses ini wajib menyertakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat, terutama mengingat sensitivitas ekosistem mangrove sebagai hutan lindung.
4. Persetujuan DPR RI: Untuk perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting, cakupan luas, dan bernilai strategis (seperti konversi hutan lindung dalam skala besar), diperlukan persetujuan DPR RI.
5. Penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri LHK: Jika semua kajian dan persetujuan (termasuk dari DPR RI) telah diperoleh, Menteri LHK akan menerbitkan SK tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan.
6. Penetapan oleh BP Batam: Khusus di Batam, dengan adanya aturan baru seperti Perpres No. 21 Tahun 2025, BP Batam memiliki kewenangan untuk mengajukan pelepasan kawasan hutan dalam kerangka penyediaan lahan untuk investasi, namun tetap harus mengikuti pedoman dan persetujuan dari otoritas pusat (Menteri LHK).
7. Penerbitan Izin Pemanfaatan: Setelah status lahan berubah menjadi bukan kawasan hutan atau kawasan budidaya (Alokasi Peruntukan Lainnya/APL), barulah izin pemanfaatan untuk industri dapat diterbitkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berlaku.
Kendala dan Pertimbangan Penting
- Fungsi Ekologis Mangrove: Hutan mangrove adalah ekosistem vital yang berfungsi sebagai penahan abrasi, penyimpan karbon (penyelamat iklim), dan habitat keanekaragaman hayati.
Pemerintah dan berbagai pihak (LSM, masyarakat) sangat menyoroti pentingnya menjaga kelestariannya.
- Regulasi yang Ketat: Peraturan Pemerintah (seperti PP No. 104 Tahun 2015 dan PP No. 27 Tahun 2025) mengatur secara ketat perubahan fungsi kawasan hutan lindung.
Perubahan dari hutan lindung ke hutan produksi/industri hanya dapat dilakukan jika lahan tersebut terbukti tidak lagi memenuhi kriteria sebagai hutan lindung berdasarkan kajian mendalam.
- Polemik dan Kritik: Alih fungsi hutan mangrove di Batam telah menjadi polemik dan menghadapi kritik dari berbagai pihak karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal (nelayan).
Secara hukum, perubahan fungsi hutan lindung menjadi lahan industri adalah proses yang dimungkinkan, tetapi sangat sulit dan harus melalui mekanisme birokrasi dan kajian lingkungan yang panjang serta persetujuan politik di tingkat tertinggi.(*)
